TUGAS
DRAMA
MENGAMATI
SAWAH DAN PAK TANI
Oleh
Nama: Ela Mika Sari
Nim: 1412011056
Kelas: 4B
Tugas: Ke 2
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN GANESHA
2016
Kembali
kerumah dan bersenda gurau bersama keluarga adalah hal yang sangat diinginkan
dan dinantikan oleh semua orang terutama saya yang merantau dan jauh dari orang
tua. Merantau untuk mencari ilmu dan digunakan untuk membekali diri nantinya.
Rindu akan suasana kampung halaman bersama orang-orang tersayang sudah menjadi
hal yang wajar di setiap harinya bagi para perantau. Ingin rasanya setiap libur
kuliah dapat pulang dan berkumpul bersama keluarga. Namun, itu semua harus di
pendam dalam-dalam karena jarak yang jauh dan membutuhkan biaya yang tidak
sedikit pula.
Minggu
ini saya mendapat libur kuliah dari kampus yang cukup lama yaitu selama
seminggu. Bali tepatnya Singaraja adalah pilihan saya merantau untuk mencari
ilmu dan Bali mendapat julukan pulau dewata dan seribu pura, tetapi menurut
saya tidak hanya itu Bali yang mayoritasnya menganut agama Hindu memiliki
banyak sekali hari raya. Sehingga saya menyebutnya dengan pulau seribu hari
raya. Libur kuliah kali ini dalam rangka menyambut hari Raya Nyepi Tahun baru
Caka. Sudah menjadi hal yang biasa bagi saya jika libur kuliah dan tidak pulang
kampung. Tetapi, hal itu tidak membuat saya bersedih karena masih ada sanak
saudara yang tinggal di Denpasar. Saya menggunakan liburan kali ini dengan
menginap di rumah Tante saya.
Tepat
pukul 06.00 WITA saya terbangun, diiringi dengan suara ayam yang berkokok
seakan-akan menjadi alarm untuk membangunkan orang-orang yang masih terlelap, saya
berjalan ke dapur dan membuka pintu belakang untuk menghirup segarnya udara
pagi, serta saya dapat melihat beberapa jenis burung yang beterbangan dari
sarangnya untuk mencari makan. Dari timur sang surya mulai menyapaku malu-malu
dengan sinarnya. Tidak hanya itu saya juga melihat hamparan padi di sawah yang hampir
menguning terlihat sangat indah dan damai. Kebiasaan ku di pagi hari setelah
bangun, cuci muka dan gosok gigi adalah mencuci piring, menyapu dan membereskan
tempat tidur. Hal ini sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang perempuan.
Tak
jarang saya membantu tante saya memasak di dapur. Sesekali kami dikagetkan
dengan suara aneh yang berasal dari belakang rumah kami. Memang, tepat di
belakang rumah kami ada sawah yang cukup luas milik kakek yang tak ku ketahui
namanya. Namun, kakek itu sering di panggil dadong oleh warga sekitar yang
mengenalnya.
Dengan
kaos lengan pendek dan celana pendek di bawah lutut yang sudah tidak berwarna
karena luntur dan tertutup oleh lumpur yang sudah mengering dan mengerak
sehingga susah utuk dibersihkan. Namun, mampu melindungi tubuh kakek dari
sengatan matahari maupun dinginnya hujan. Tidak lupa juga, beliau selalu
ditemani oleh topi lusuhnya. Atribut kakek ini selalu ia kenakan ketika berada
di tengah sawah. Kakek petani setiap pagi sebelum matahari menyingsing, beliau
sudah berada di tengah sawah.
Suara
aneh yang tadi saya dengar ternyata berasal dari suara kakek petani yang sedang
mengusir burung-burung kecil yang berada di sawah mereka. Suara khas dari kakek
ini untuk mengusir burung-burung terdengar sangat aneh di telingaku tetapi
kadang saya juga tertawa mendengarnya karena sangat khas dan saya tidak bisa
menirukannya. Dengan sekuat tenaga kakek ini mengerahkan tenaganya dan
mengeluarkan suaranya untuk mengusir burung-burung tersebut.
Tidak
hanya dengan menggunakan suaranya yang khas kakek tersebut menggunakan bantuan
dari orang-orangan sawah. Diusirnya burung-burung itu yang sedang asyik
menikmati biji padi yang hampir menguning dengan orang-orangan sawah yang dia
gerak-gerakan. Sayangnya usaha itu tak memberikan hasil yang memuaskan, karena
setiap kali kakek melakukan hal itu
untuk mengusir burung-burung itu, hanya sebagian burung saja yang pergi
melarikan diri dan meninggalkan ladangnya sedangkan yang lain masih asyik
menyantap lezatnya biji-biji padi milik kakek petani itu.
Berulang-ulang
kakek itu menggerak-gerakan orang-orangan sawah untuk mengusir burung-burung
yang terus hinggap di antara batang padi miliknya. Semakin lama, kakek itu pun
kelelahan dan merasa kewalahan menghadapi serbuan burung yang kian mengganas.
Kakek itu pun beristirahat sebentar di bawah pohon yang cukup rindang memandangi
ladang penuh burung yang sedang berpesta pora.
Kakek
itu tidak bisa berlama-lama duduk diam begitu saja, ia langsung berdiri
mengusir barung-burung nakal itu lagi sambil sesekali ia memandangi hamparan
sawahnya yang cukup luas. Di antara petak-petak sawah itu matanya terhenti pada
rumput-rumput liar yang berada di sekitar padi. Rumput itu terlihat subur
bahkan lebih subur dan hampir menutupi padi tersebut.
Hari
semakin siang, matahari semakin terik. Tanpa menunggu lama kakek itu pun
langsung turun ke sawah dan mencabut rumput-rumput liar yang yang mengganggu
tanaman padinya. Dengan sangat sabar kakek itu membersihkannya petak demi
petak, sementara panas matahari kian menyengat. Keringat kakek bercucuran,
sesekali ia mengusap wajahnya dengan lengan bajunya. Ia tak peduli dengan panas
yang membakar kulitnya.
Mataharipun
semakin naik dan seakan-akan berada di atas ubun-ubun. Ia terhenti sejenak, kemudian
melangkah ke tepi, kakek itu pun beristirahat di sebuah
gubuk kecil untuk melepas lelahnya. Ia kipas-kipaskan tudung di kepalanya ke wajahnya yang
terlihat kelelahan, hembusan angin sepoi-sepoi terasa menyegarkan tubuhnya yang
memerah dan basah oleh keringat. Tidak lama kemudian
terdengar suara aneh namun khas untuk mengusir burung-burung nakal tadi.
Rupanya ia adalah istri kakek yang membawakan sekotak makanan dan sebotol kopi
untuk suaminya (kakek). Ternyata ada yang bisa menirukan suara khas tersebut
(pikirku ketika mendengarnya sambil tersenyum).
Ya
istri kakek ini memang dengan setia mengantarkan kotak makanan untuk suaminya
di sawah. Dengan lahap sang kakek menikmati masakan istrinya sambil memandangi
sawahnya yang kian menguning.
Betapa nikmatnya makan di tengah sawah yang mulai menguning dengan angin yang
sepoi-sepoi, diiringi kicauan burung-burung. Sungguh alami pemandangan di depan
sana, hamparan padi di bawah birunya langit. Ketika sang kakek
beristirahat dan menikmati makananya, neneklah yang bergantian mengusir burung-burung
penggangu yang terus memakan padi yang hampir siap panen. Dengan suara khas dan
menggoyang-goyangkan orang-orangan sawah.
Selain
merasa aneh dengan suara khas untuk mengusir burung-burung itu, ada lagi yang
membuat saya merasa aneh yaitu orang-orangan sawahnya. Orang-orangan sawah di
sawah kakek ini hanya berupa kayu yang cukup panjang yang diatasnya diberi
kaleng atau kayu yang diikat dengan kain kemudian diberi tali panjang dan
ditarik dari arah gubuk agar memudahkan kakek itu mengusir burung-burung nakal.
Orang-orangan sawah ini biasanya berada di pojok-pojok atau ujung-ujung sawah.
Setelah
merasa cukup untuk istirahat, kakek pun bergegas melanjutkan pekerjaannya yang masih panjang, membersihkan
rumput-rumput yang tumbuh di antara tanaman padinya. Setelah beberapa lama,
tiba-tiba langit berubah warna, biru dan cerah yang sejak pagi menghiasi
angkasa tiba-tiba menjadi mendung yang menyelimuti, beberapa kali terdengar
petir mulai menyambar. Tanpa menunggu lama hujan pun turun dari langit dengan
derasnya membasahi seluruh tanaman yang tumbuh di persawahan itu. Sejenak kakek
menghentikan pekerjaannya, tertegun memandang sekeliling, sepi tak ada seorangpun
yang masih berada di persawahan sekitarnya, kemudian ia melanjutkan
pekerjaannya lagi.
Hujan
kian deras, petir yang menderu mulai menyambar dan menampakkan kegagahannya.
Kakek pun tiada beranjak dari kegiatannya walau badan basah kuyup dengan sabar
dan ditemani cangkul kecilnya ia terus menyusuri petak-petak sawah mengelilingi
padinya dan mencabut rerumputan liar yang berada disekitar padi. Panas yang
tadi serasa membakar kulit kini barganti menjadi dingin yang menusuk hingga
menembus tulang.
Sementara
sang nenek hanya menunggu sang kakek di bawah gubuk yang mampu melindunginya
dari rerintikan hujan. Sesekali ia juga ikut turun ke sawah untuk membantu sang
kakek tetapi, selalu tidak diperbolehkan oleh kakek. Kakek lebih suka jika
nenek tetap menunggunya di gubuk. Sementara langit yang sejak tadi masih
menghitam belum ada tanda-tanda untuk berhenti menurunkan air. Sambil
membersihkan rumput liar kakek juga membuat jalan air atau aliran air agar lancar
atau tidak tersumbat dan tidak menggenang telalu lama di tengah-tengah
sawahnya.
Tak
terasa waktu berjalan begitu cepat, entah karena langitnya yang gelap atau
memang waktu sudah menunjukkan untuk waktunya pulang. Keringat yang tadi
bercucuran membasahi seluruh tubuh kakek karena teriknya matahari kini
digantikan oleh air hujan yang mampu mengerutkan kulit kakek karena kedinginan.
Terlihat jelas kelelahan kakek yang tergores di wajah keriputnya. Namun, ia
akan selalu setia menemani padi-padinya hingga benar-benar menjadi bulir-bulir
yang menguning dan mengeras.
Sang
kakek kemudian bergegas kembali ke gubuk, sebelum kembali ke rumah. Nenek
mengikutinya dengan membereskan kotak makanan yang dibawanya tadi. Sementara
kakek masih membersihkan tubuhnya dari lumpur yang menempel, di sumur dekat
gubuknya. Sebelum berjalan pulang kakek menyempatkan untuk melirik lagi
padi-padinya dan pohon-pohon yang berada di sekitar. Daun-daun yang tadi pagi
menari-nari indah karena ditiup angin sepoi-sepoi kini tertunduk menahan air,
menelungkup seakan-akan merasakan dinginnya air hujan.
Tiba-tiba
mata sang kakek tertuju pada pohon pisang, dengan mata tuanya ia masih dapat melihat
setandan pisang dari kejauhan. Dihampirinya pohon pisang itu bersama istrinya
dan ternyata benar pisang tersebut sudah cukup besar dan sudah bisa dipetik.
Dengan bantuan sang istri pisang tersebut dapat di bawa pulang. Memang disekitar
tepi sawah kakek terdapat beberapa pohon pisang yang sengaja ia tanam.
Tubuh
yang lelah seharian di sawah dengan sengatan terik matahari dan guyuran air
hujan yang sudah menjadi sahabat sehari-harinya kakek petani dan tidak pernah
mematahkan semangat kakek untuk bekerja merawat padi-padinya. Terlihat jelas
dari wajah kakek yang sangat berharap padi-padinya menguning dengan sempurna
dan mendapatkan hasil yang memuaskan agar kakek dapat memenuhi kebutuhan
keluarganya.
Demikianlah perjuangan kakek yang
tak kenal lelah, tak peduli panas dan hujan, demi tanaman padinya ia yakin
dengan pasti kelak akan ia panen. Ia yakin suatu hari nanti akan menikmati
hasil jerih payahnya hari ini. Maka, ia pantang menyerah menghadapi segala
tantangan dan hambatan yang menghadang. Ia bulatkan tekad untuk mempersembahkan
yang terbaik.
Seharusnya, demikian juga kita dalam
mengarungi kehidupan, kita harus punya tujuan yang jelas dan pasti yang akan
kita capai esok lusa, dan kita bulatkan tekad dan segala daya upaya untuk
mencapainya. Jangan mimpi semuanya akan berjalan lancar tanpa rintangan.
Menanam padi saja pasti rumput akan ikut tumbuh, demikian juga impian yang kita
tanam, pasti juga akan ditumbuhi semak dan ilalang. Kalau semak dan ilalang
tidak kita bersihkan, bisa jadi impian kita akan layu dan mati.