Jumat, 25 Maret 2016

Pak Tani dan Sawahnya



TUGAS DRAMA
MENGAMATI SAWAH DAN PAK TANI

Oleh

Nama: Ela Mika Sari
Nim: 1412011056
Kelas: 4B
Tugas: Ke 2

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2016


Kembali kerumah dan bersenda gurau bersama keluarga adalah hal yang sangat diinginkan dan dinantikan oleh semua orang terutama saya yang merantau dan jauh dari orang tua. Merantau untuk mencari ilmu dan digunakan untuk membekali diri nantinya. Rindu akan suasana kampung halaman bersama orang-orang tersayang sudah menjadi hal yang wajar di setiap harinya bagi para perantau. Ingin rasanya setiap libur kuliah dapat pulang dan berkumpul bersama keluarga. Namun, itu semua harus di pendam dalam-dalam karena jarak yang jauh dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit pula.
Minggu ini saya mendapat libur kuliah dari kampus yang cukup lama yaitu selama seminggu. Bali tepatnya Singaraja adalah pilihan saya merantau untuk mencari ilmu dan Bali mendapat julukan pulau dewata dan seribu pura, tetapi menurut saya tidak hanya itu Bali yang mayoritasnya menganut agama Hindu memiliki banyak sekali hari raya. Sehingga saya menyebutnya dengan pulau seribu hari raya. Libur kuliah kali ini dalam rangka menyambut hari Raya Nyepi Tahun baru Caka. Sudah menjadi hal yang biasa bagi saya jika libur kuliah dan tidak pulang kampung. Tetapi, hal itu tidak membuat saya bersedih karena masih ada sanak saudara yang tinggal di Denpasar. Saya menggunakan liburan kali ini dengan menginap di rumah Tante saya.
Tepat pukul 06.00 WITA saya terbangun, diiringi dengan suara ayam yang berkokok seakan-akan menjadi alarm untuk membangunkan orang-orang yang masih terlelap, saya berjalan ke dapur dan membuka pintu belakang untuk menghirup segarnya udara pagi, serta saya dapat melihat beberapa jenis burung yang beterbangan dari sarangnya untuk mencari makan. Dari timur sang surya mulai menyapaku malu-malu dengan sinarnya. Tidak hanya itu saya juga melihat hamparan padi di sawah yang hampir menguning terlihat sangat indah dan damai. Kebiasaan ku di pagi hari setelah bangun, cuci muka dan gosok gigi adalah mencuci piring, menyapu dan membereskan tempat tidur. Hal ini sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang perempuan.
Tak jarang saya membantu tante saya memasak di dapur. Sesekali kami dikagetkan dengan suara aneh yang berasal dari belakang rumah kami. Memang, tepat di belakang rumah kami ada sawah yang cukup luas milik kakek yang tak ku ketahui namanya. Namun, kakek itu sering di panggil dadong oleh warga sekitar yang mengenalnya.
Dengan kaos lengan pendek dan celana pendek di bawah lutut yang sudah tidak berwarna karena luntur dan tertutup oleh lumpur yang sudah mengering dan mengerak sehingga susah utuk dibersihkan. Namun, mampu melindungi tubuh kakek dari sengatan matahari maupun dinginnya hujan. Tidak lupa juga, beliau selalu ditemani oleh topi lusuhnya. Atribut kakek ini selalu ia kenakan ketika berada di tengah sawah. Kakek petani setiap pagi sebelum matahari menyingsing, beliau sudah berada di tengah sawah.
Suara aneh yang tadi saya dengar ternyata berasal dari suara kakek petani yang sedang mengusir burung-burung kecil yang berada di sawah mereka. Suara khas dari kakek ini untuk mengusir burung-burung terdengar sangat aneh di telingaku tetapi kadang saya juga tertawa mendengarnya karena sangat khas dan saya tidak bisa menirukannya. Dengan sekuat tenaga kakek ini mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan suaranya untuk mengusir burung-burung tersebut.
Tidak hanya dengan menggunakan suaranya yang khas kakek tersebut menggunakan bantuan dari orang-orangan sawah. Diusirnya burung-burung itu yang sedang asyik menikmati biji padi yang hampir menguning dengan orang-orangan sawah yang dia gerak-gerakan. Sayangnya usaha itu tak memberikan hasil yang memuaskan, karena setiap kali kakek  melakukan hal itu untuk mengusir burung-burung itu, hanya sebagian burung saja yang pergi melarikan diri dan meninggalkan ladangnya sedangkan yang lain masih asyik menyantap lezatnya biji-biji padi milik kakek petani  itu.
Berulang-ulang kakek itu menggerak-gerakan orang-orangan sawah untuk mengusir burung-burung yang terus hinggap di antara batang padi miliknya. Semakin lama, kakek itu pun kelelahan dan merasa kewalahan menghadapi serbuan burung yang kian mengganas. Kakek itu pun beristirahat sebentar di bawah pohon yang cukup rindang memandangi ladang penuh burung yang sedang berpesta pora.
Kakek itu tidak bisa berlama-lama duduk diam begitu saja, ia langsung berdiri mengusir barung-burung nakal itu lagi sambil sesekali ia memandangi hamparan sawahnya yang cukup luas. Di antara petak-petak sawah itu matanya terhenti pada rumput-rumput liar yang berada di sekitar padi. Rumput itu terlihat subur bahkan lebih subur dan hampir menutupi padi tersebut.
Hari semakin siang, matahari semakin terik. Tanpa menunggu lama kakek itu pun langsung turun ke sawah dan mencabut rumput-rumput liar yang yang mengganggu tanaman padinya. Dengan sangat sabar kakek itu membersihkannya petak demi petak, sementara panas matahari kian menyengat. Keringat kakek bercucuran, sesekali ia mengusap wajahnya dengan lengan bajunya. Ia tak peduli dengan panas yang membakar kulitnya.
Mataharipun semakin naik dan seakan-akan berada di atas ubun-ubun. Ia terhenti sejenak, kemudian melangkah ke tepi, kakek itu pun beristirahat di sebuah gubuk kecil untuk melepas lelahnya. Ia kipas-kipaskan tudung di kepalanya ke wajahnya yang terlihat kelelahan, hembusan angin sepoi-sepoi terasa menyegarkan tubuhnya yang memerah dan basah oleh keringat. Tidak lama kemudian terdengar suara aneh namun khas untuk mengusir burung-burung nakal tadi. Rupanya ia adalah istri kakek yang membawakan sekotak makanan dan sebotol kopi untuk suaminya (kakek). Ternyata ada yang bisa menirukan suara khas tersebut (pikirku ketika mendengarnya sambil tersenyum).
Ya istri kakek ini memang dengan setia mengantarkan kotak makanan untuk suaminya di sawah. Dengan lahap sang kakek menikmati masakan istrinya sambil memandangi sawahnya yang kian menguning. Betapa nikmatnya makan di tengah sawah yang mulai menguning dengan angin yang sepoi-sepoi, diiringi kicauan burung-burung. Sungguh alami pemandangan di depan sana, hamparan padi di bawah birunya langit. Ketika sang kakek beristirahat dan menikmati makananya, neneklah yang bergantian mengusir burung-burung penggangu yang terus memakan padi yang hampir siap panen. Dengan suara khas dan menggoyang-goyangkan orang-orangan sawah.
Selain merasa aneh dengan suara khas untuk mengusir burung-burung itu, ada lagi yang membuat saya merasa aneh yaitu orang-orangan sawahnya. Orang-orangan sawah di sawah kakek ini hanya berupa kayu yang cukup panjang yang diatasnya diberi kaleng atau kayu yang diikat dengan kain kemudian diberi tali panjang dan ditarik dari arah gubuk agar memudahkan kakek itu mengusir burung-burung nakal. Orang-orangan sawah ini biasanya berada di pojok-pojok atau ujung-ujung sawah.
Setelah merasa cukup untuk istirahat, kakek pun bergegas melanjutkan pekerjaannya yang masih panjang, membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di antara tanaman padinya. Setelah beberapa lama, tiba-tiba langit berubah warna, biru dan cerah yang sejak pagi menghiasi angkasa tiba-tiba menjadi mendung yang menyelimuti, beberapa kali terdengar petir mulai menyambar. Tanpa menunggu lama hujan pun turun dari langit dengan derasnya membasahi seluruh tanaman yang tumbuh di persawahan itu. Sejenak kakek menghentikan pekerjaannya, tertegun memandang sekeliling, sepi tak ada seorangpun yang masih berada di persawahan sekitarnya, kemudian ia melanjutkan pekerjaannya lagi.
Hujan kian deras, petir yang menderu mulai menyambar dan menampakkan kegagahannya. Kakek pun tiada beranjak dari kegiatannya walau badan basah kuyup dengan sabar dan ditemani cangkul kecilnya ia terus menyusuri petak-petak sawah mengelilingi padinya dan mencabut rerumputan liar yang berada disekitar padi. Panas yang tadi serasa membakar kulit kini barganti menjadi dingin yang menusuk hingga menembus tulang.
Sementara sang nenek hanya menunggu sang kakek di bawah gubuk yang mampu melindunginya dari rerintikan hujan. Sesekali ia juga ikut turun ke sawah untuk membantu sang kakek tetapi, selalu tidak diperbolehkan oleh kakek. Kakek lebih suka jika nenek tetap menunggunya di gubuk. Sementara langit yang sejak tadi masih menghitam belum ada tanda-tanda untuk berhenti menurunkan air. Sambil membersihkan rumput liar kakek juga membuat jalan air atau aliran air agar lancar atau tidak tersumbat dan tidak menggenang telalu lama di tengah-tengah sawahnya.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, entah karena langitnya yang gelap atau memang waktu sudah menunjukkan untuk waktunya pulang. Keringat yang tadi bercucuran membasahi seluruh tubuh kakek karena teriknya matahari kini digantikan oleh air hujan yang mampu mengerutkan kulit kakek karena kedinginan. Terlihat jelas kelelahan kakek yang tergores di wajah keriputnya. Namun, ia akan selalu setia menemani padi-padinya hingga benar-benar menjadi bulir-bulir yang menguning dan mengeras.
Sang kakek kemudian bergegas kembali ke gubuk, sebelum kembali ke rumah. Nenek mengikutinya dengan membereskan kotak makanan yang dibawanya tadi. Sementara kakek masih membersihkan tubuhnya dari lumpur yang menempel, di sumur dekat gubuknya. Sebelum berjalan pulang kakek menyempatkan untuk melirik lagi padi-padinya dan pohon-pohon yang berada di sekitar. Daun-daun yang tadi pagi menari-nari indah karena ditiup angin sepoi-sepoi kini tertunduk menahan air, menelungkup seakan-akan merasakan dinginnya air hujan.
Tiba-tiba mata sang kakek tertuju pada pohon pisang, dengan mata tuanya ia masih dapat melihat setandan pisang dari kejauhan. Dihampirinya pohon pisang itu bersama istrinya dan ternyata benar pisang tersebut sudah cukup besar dan sudah bisa dipetik. Dengan bantuan sang istri pisang tersebut dapat di bawa pulang. Memang disekitar tepi sawah kakek terdapat beberapa pohon pisang yang sengaja ia tanam.
Tubuh yang lelah seharian di sawah dengan sengatan terik matahari dan guyuran air hujan yang sudah menjadi sahabat sehari-harinya kakek petani dan tidak pernah mematahkan semangat kakek untuk bekerja merawat padi-padinya. Terlihat jelas dari wajah kakek yang sangat berharap padi-padinya menguning dengan sempurna dan mendapatkan hasil yang memuaskan agar kakek dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
Demikianlah perjuangan kakek yang tak kenal lelah, tak peduli panas dan hujan, demi tanaman padinya ia yakin dengan pasti kelak akan ia panen. Ia yakin suatu hari nanti akan menikmati hasil jerih payahnya hari ini. Maka, ia pantang menyerah menghadapi segala tantangan dan hambatan yang menghadang. Ia bulatkan tekad untuk mempersembahkan yang terbaik.
Seharusnya, demikian juga kita dalam mengarungi kehidupan, kita harus punya tujuan yang jelas dan pasti yang akan kita capai esok lusa, dan kita bulatkan tekad dan segala daya upaya untuk mencapainya. Jangan mimpi semuanya akan berjalan lancar tanpa rintangan. Menanam padi saja pasti rumput akan ikut tumbuh, demikian juga impian yang kita tanam, pasti juga akan ditumbuhi semak dan ilalang. Kalau semak dan ilalang tidak kita bersihkan, bisa jadi impian kita akan layu dan mati.